Minggu, 11 Januari 2009

Indonesia, Pendidikan dan Perkembangan

Sekolah dapat nilai bagus, lulus dan cari kerja yang aman. Hal inilah yang diajarkan ayah (miskin) Robert T Kiyosaki, seorang ekonom tingkat internasional. Begitulah yang kita dapatkan dalam pendidikan di sekolah maupun keluarga. Paradigma yang terbangun adalah bahwa, orang dikatakan bekerja ketika mereka bisa menjadi ”tukang”. Entah tukang sapu, tukang tulis (sekretaris), tukang ajar (pengajar), dan tukang-tukang yang lain. Yang pada prinsipnya berkerja itu ”ngawulo”(bekerja utuk orang lain). Dan anehnya kitapun bangga dengan hal tersebut.
Bukan mau mendiskriditkan pendidikan indonesia (saya juga hasil pendidikan indonesia), hanya sebuah oto kritik bagi bangsa ini.
Coba kita tengok saat kita masih di pendidikan taman kanak-kanak, masa ini sangat riskan dengan penaruh external anak, informasi yang mereka dapat akan menjadi informasi yang permanen. Saat TK pernahkah kita di tanya oleh pembimbing kita,”kalo besar nanti pingin punya apa?” (mungkin pernah). Seseringkah dengan pertanyaan ”kalo besar nanti pingin jadi apa?”. dan dengan bangga kita menjawab ”pingin jadi pilot (kenapa bukan pemilik pesawatnya?), jadi guru (kenapa bukan pemilik sekolahnya?), jadi sopir (kenapa bukan pemilik mobilnya?). Fenomena ini sangat lama sampai ketika di bangku kuliah ketika di tanya kenapa ambil fakultas A? Sebagian besar akan menjawab, ”pingin KERJA di perusahaan ....”terjadi sehigga mendarah daging dalam diri bangsa indonesia mejadi bangsa karyawan, bangsa pekerja.
Indonesia dengan kondisi geografis yang sangat menguntungkan, ”tongkat kayu dan batu jadi tanaman” (kata koes plus), tapi rakyat Indonesia masih juga miskin dan kasus busung lapar. Banyak tambang dalam perut buminya, BBM masih juga sulit didapat. (komentar saja, kalo ada lawakan tingkat kenegaraan mungkin Indonesia bisa jadi pemenangnya ya...? atau paling tidak masuk dalam tayangan aneh tapi nyata kelas dunia. Lumayan bisa ningkatkan ”prestasi” selain terkenal sebagai negara korup).

Kabar gembira
Departemen pendidikan indonesia sekarang lagi mengembar-gemborkan untuk sekolah di kejuruan. Yang diharapkan mampu membekali siswanya untuk berkompetisi hidup di dunia nyata, bukan dunia pendidikan semata. (semoga bukan membekali untuk cepat jadi tukang). Sehingga entrepreneur sangat di gaungkan.
Ayah kaya robert t kiyosaki mengajarkan untuk ”sekolah, lulus dan jadilah investor yang handal”.

Penghargaan terhadap ”pendidikan”
Mengutip ulang perkataan kedua ayah robert t kiyosaki
Ayah miskin (seorang pengajar, tingkatan sekolah tinggi), ”sekolah dapat nilai bagus, lulus cari kerja yang aman”.
Ayah kaya (pengusaha, tingkat sekolah rendah), ”sekolah, lulus dan jadilah investor yang handal.
Sekilas tidak ada yang aneh keduanya mengarahkan pendidikan untuk hidup dengan mencari penghasilan (finansial), namun ketika kita cerna kembali kedua perkataan tersebut sangatlah berbeda.
Secara pendidikan finansial, ayah miskin kurang mengajarkan untuk fight terhadap kehidupan, mengambil resiko dalam kehidupan, dibandingkan pola ajar yang di berikan ayah kaya. Jika pola pikir para pendidik kita masih seperti ini, sayang sekali program yang digembar-gemborkan depdiknas akan tidak teraplikasi, sehingga dengan kurikulum model apapun untuk mengarahkan para entrepreneur, gatot alias gagal total. Maka jadilah bangsa karyawan.
Banyak yang perlu menjadi perhatian jika kita berkaca pada pendidikan indonesia. Permasalahan yang terjadi seperti benah kusut:
Gaji tenaga pendidik kecil, harus cari dari bidang lain, sehingga tidak optimal dalam mendidik. Output pendidikan pun tidak optimal, tapi bea pendidikan mencekik orangtua selaku wali. Tuntutan dunia kerja terhadap tingkat pendidikan (ijazah), maka orang tuapun rela melakukan apapun untuk memenuhi bea sekolah. Lulus, harus cari kerja yang aman dan berpenghasilan besar untuk menutup modal pendidikan orang tua, dengan cara apapun (wajar kalo ada korupsi toh).

Jadi karyawan tidaklah sepele
Menjadi seorang karyawan dengan gaji pasti yang aman tidaklah buruk ataupun sepele. Karena pada dasarnya pengusaha pasti akan butuh karyawan juga. Jadi saling melengkapi. Hanya saja kita perlu menelaah kembali kata ”aman”. Benarkah kita aman? Sering saya ketemu orang yang mengatakan ”jelas aman, bagaimana tidak? Perbulan ada pnghasilan pasti amankan? Apalagi kalau PNS ada tunjangan pensiun, amankan?”.☺
Memang untuk saat sekarang mungkin terlihat lebih aman gaji tetap perbulan, pensiun ada janji tunjangan pensiun. Lebih aman mana jika kita bandingkan dengan menjadi seorang pengusaha. Pengusaha tentunya juga untuk mencukupi hidup, artinya dia juga pasti punya target penghasilan perbulan. Jika kita berasumsi akan sama-sama sukses lebih aman mana? Seorang pengusaha dengan seiring berkembangnya usaha tentunya akan menjadi ”aset” bagi dirinya dan keluarganya, bahkan sampai dia meninggal aset tetap berjalan maka tetap dapat menghidupi keluarga, mungkin juga keturunan-keturunannya. Dan jika suskses tentunya grafik penghasilan akan terus naik. Hal ini akan berbanding lurus dengan dana pensiunan, katika kita sudah meninggal tentunya akan berhenti juga dana pensiunnya seiring dengan terhentinya nafas. Pernah dengar grafik pensiunan yang meningkat? Lalu bagaimana mereka yang menjadi karyawan swasta? Yang tanpa dana pensiun? Mereka harus bekerja lagi untuk hidup. (Kapan pensiunnya?)
Sekali lagi, saya tidak mendiskritkan karyawan baik swasta yang tanpa dana pensiun maupun karyawan negara (PNS) yang punya dana pensiunan. Hanya menjadi outo kritik bagi bangsa tentang pendidikan dan paradigama kerja.
Semoga bermanfaat, menjadi renungan bersama dan memotivasi kita melakukan perubahan menuju yang lebih baik.